Skip to content

Bangkitkan Rasa Percaya Diri!

April 28, 2014

 BANGKIT berarti ingin lepasdan bebas dari rasa sakit agar dirinya jangan terus menerus terhimpit. Tahu posisi diri akan bahaya yang menghampiri.

Menyadari dan berusaha terus mencari bagaimana cara mengindari. Bangkit adalah sadar akan apa yang harus diperbuat danbukian sekedar bangun, kemudian pindah tempat. Tak cukup dengan modal semangat atau kemauan yang kuat, tetapi harus tahu kiat-kiat dan kaifiat (cara) agar dapat lepas dari segala bentuk tali pengikat.

Baik sebagai suatu bangsa, golongan maupun perorangan, kini kita kehilangan rasa percaya diri, sehingga berbagai ancaman berupa ketidak pastian tidak bisa dihindari, lantaran tidak memiliki pendirian dan watak kemandirian. Tak memiliki tujuan yang pasti, sehingga menjadi tak tahu, mana yang harus diikuti.

PERCAYA DIRI, BUKA KUNCI BELENGGU

Boleh jadi, kepada pihak yang selalu menakut-nakuti, dirinya akhirnya terpaksa mengikuti. Bila begitu maka tak jauh bedanya dengan kualitas itik, terlalu mudah dihalau orang ke hilir ke mudik atau ke hulu dan ke hilir dengan hanya mengikuti jalur mengalirnya air. Hanya melalui aba-aba sebuah cutik (sepotong bambu kecil) sudah lari terbirit-birit menelusuri parit. Selalu mencari selamat, meski hanya sekedar ingin mendapat posisi terhormat.. hanya ingin mendapatkan pujian, akan tetapi takut pada ujian. Hanya ingin mendapat sanjungan terus-menerus, akan tetapi sikap berani menghadapi tantangan tak pernah terurus. Akibat yang terjadi adalah: rasa rendah diri, keluh kesah, gelisah, selalu mengkambing hitamkan orang lain, pesimisme, kekhawatiran, selalu bicara “tak mungkin” dan lain-lain.

Meski dalam pengembangan kemampuan AKAL (Alat Kritis Analisis Logika) atatu otak, kita senantiasa menjuarai dan terkenal dalam olimpiade matematika tingkat internasional, akan tetapi dalam hal watak, utamanya rasa percaya diri, maksudnya yakin bahwa memiliki potensi yang terpendam, kondisinya masih jauh dari berbagai ucapan dan ungkapan yang terlontar, dalam berbagai komentar yang bernada mudah kagum, bahwa pihak luar jauh lebih baik daripada kita. Sebagai akibat kagum itu, menjadi tak memiliki jiwa kreatif dan inovatif. Sikap imitator (tukang tiru) lebih berperan atau dominan ketimbang menemukan sesuatu yang baru (inovator). Apalagi bila apa yang diupayakan ternyata nihil atau kurang berhasil, akhirnya lebih cenderung mereaksi ketimbang berkreasi sebagai manifestasi dari rasa DENGKI (Dendam Emosi Nikmat Gaa-gara Karena Iri).

Sebagai dampak dari penjajahan pikiran, dimana selama tiga setengah abad kaum kolonoial berperan, mental kita gampang goyah, tidak memiliki sibghah dan wijhah, corak dan arah. Segala apa saja yang datang dari negeri entah brantah, begitu mudah untuk ditelan mentah-mentah, apakah akan membawa maslahah (kebaikan) atau mafsadah (kerusakan) tanpa melakukan seleksi. Di samping itu, karena hasil dari sumber daya alam yang melimpah ruah, membuat ruh juang kita menjadi lemah, tak terlahir melalui daya pikir,bahwa untuk kaya harus berupaya, bahwa untuk menang harus berani berjuang, karena hanya cukup dengan “ongkang-ongkang, uangpun datang, hanya ditinggal main kendang kempul, rizkipun terkumpul “Dengan demikian, sikap berupaya mengembangkan daya alam, maupun sumber daya insan, kurang ada kemauan..

“Rasa Percaya Diri” adalah merupakan bagian dari watak (ESQ= Emotional and Spiritual Quotient) yang mendorong dan menggiring sesorang agar cepat bertindak, tegas dan cerdas, karena didukung oleh otak (IQ= Intelligence Quotient) dan juga berani melakukan gertak. Rasa percaya diri, tentu merupakan alat pembuka pintu, menjadi kunci penentu, dengan tindakan yang bermutu, melalui jurus-jurus yang jitu dengan mempertimbangkan waktu.

Sebaliknya “Rasa Kurang Percaya Diri” menjadi pintu pembelenggu yang mengganggu segala aktivitas dan kreativitas. Lantaran harus menunggu, maka meski otaknya cerdas, tetapi wataknya kurang tegas dan pikiranya kurang bebas. Meski menjadi tenaga ahli, tetapi posisinya tak jauh bedanya dengan kuli. Meski seakan-akan tegas saat menjadi pengamat, tetapi tidak berani menjadi pengamal, lantaran takut resiko. Meski pintar untuk mengkritisi, akan tetapi tidak mampu memberi solusi, bahkan menghindar dari apa yang berbentuk aplikasi. Selalu asyik dalam forum yang pernah debat dengan penuh semangat, seakan-akan berlagak sebagai orang hebat, tetapi dalam pelaksanaan kegiatan tidak ingin terlibat. Mengapa demikian? Karena takut resiko, yakni lari dari realita dengan jalan menutup mata atau berlagak seperti orang buta. Meski memiliki otak cerdas, tetapi bila dilepas tidak memiliki sikap yang tegas. Telalu banyak pertimbangan, lntaran apa yang dilakukan penuh dengan keimbangan. Karena itu lebih senang urun angan ketimbang turun tangan. Lebih senang berandai-andai “meski dikenal sebagai orang yang pandai. Akibatnya, meski tergolong orang pintar, akan tetapi nasibnya terlantar. Apalagi kalau selalu memiliki perasaan sebagai orang alit (kecil) maka sebelum melakukan sesuatu apa saja selalu memandang sulit.

Dengan membangkitkan rasa percaya diri, kita menjadi sadar, agar berusaha terus menerus membuka kunci pembelenggu, yang membuat diri kita menjadi peragu atau memiliki mental yang cenderung menunggu. Maksudnya, melihat terlebih dahulu apa yang dilakukan orang lain. Bila kunci pembelenggu itu kita buka, maka ptensi terpendam yang ada didalamnya menjadi nampak jelas. Kita menjadi bebas untuk melakukan aktivitas maupun kreativitas dalam ruang lingkup yang tiada terbatas. Sebab, bagaimana pun keterampilan seseorang, tidak mampu mewujudkan dalam penampilan, lantaran lemahnya “daya kemauan” serta kurang percaya diri, sehingga segala tantangan berupa apapun tidak mampu menghindari. Dengan bangkitnya rasa percaya diri, maka segala kekuatan dari diri sendiri teus dicari, sedangkan kelemahan dan kelengahan dapat dihindari. Wa Allahu a’lamu. (*)

From → Uncategorized

Leave a Comment

Leave a comment